Langsung ke konten utama

Proses Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial oleh Muhammad Rizal, S.Sos., M.M.


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Nama saya Muhammad Rizal, S.Sos., M.M., Jabatan Mediator Hubungan Industrial Ahli Muda pada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Barat. Anda sedang menyaksikan program BUKA RUANG.

Secara garis besar, tugas pejabat fungsional mediator hubungan industrial terdiri dari tiga poin utama. Pertama, pembinaan hubungan industrial. Kedua, pengembangan hubungan industrial. Dan yang ketiga, penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Tugas yang sering kami laksanakan adalah terkait dengan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan ini dimulai dengan melakukan pendataan ke perusahaan-perusahaan. Pendataan ini mencakup sarana hubungan industrial yang ada di perusahaan. Sarana hubungan industrial meliputi adanya Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, apakah pengusaha tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), keberadaan LKS Bipartit, serta peraturan perusahaan.

Kami juga mengevaluasi apakah perusahaan telah membentuk LKS Tripartit, mengikuti peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, dan memiliki lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dari hasil pendataan ini, jika banyak sarana hubungan industrial yang belum terpenuhi, maka hal tersebut dapat memicu kerawanan konflik di masa mendatang. Oleh karena itu, kami melakukan pembinaan untuk perusahaan-perusahaan tersebut.

Sebagai contoh, perusahaan dengan minimal 10 karyawan wajib membuat peraturan perusahaan (PP). Jika perusahaan tersebut belum memiliki peraturan perusahaan, kami memberikan pembinaan terkait pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan. Selain itu, kami juga membina perusahaan yang belum patuh dalam hal kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.

Selain pembinaan, tugas yang sering kami lakukan adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Proses penyelesaian perselisihan dimulai dengan bipartit, di mana salah satu pihak mengajukan perundingan antara pekerja dan pengusaha. Jika perundingan bipartit gagal, pihak yang merasa dirugikan dapat mencatatkan perselisihan tersebut ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten atau Kota tempat terjadinya perselisihan.

Jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada pejabat fungsional mediator hubungan industrial, maka perselisihan akan dilimpahkan ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Barat, yang memiliki pejabat fungsional mediator hubungan industrial.

Setelah menerima pelimpahan, kami menelaah dan menganalisa berkas-berkas perselisihan. Dalam waktu paling lama 7 hari, kami mengundang para pihak—pekerja dan pengusaha—untuk melakukan klarifikasi. Setelah itu, kami akan memediasi para pihak. Jika mediasi berhasil mencapai kesepakatan, mediator akan membantu membuatkan perjanjian bersama, yang menandakan persoalan telah selesai.

Namun, jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran. Anjuran ini diberikan kepada kedua belah pihak. Dalam jangka waktu 10 hari, mereka harus memutuskan apakah menerima atau menolak anjuran tersebut. Jika diterima, mereka kembali ke meja mediasi untuk membuat perjanjian bersama. Jika anjuran ditolak atau tidak dijawab, maka mediator akan membuat risalah mediasi, yang dapat digunakan oleh pihak yang merasa dirugikan sebagai lampiran untuk mengajukan penyelesaian ke Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Kabupaten Mamuju.

Kami berharap dalam setiap perselisihan, pihak pekerja dan pengusaha dapat lebih kooperatif dan membangun komunikasi yang baik. Untuk itu, kami menyarankan agar perselisihan pertama-tama diajukan melalui bipartit kepada manajemen. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam bipartit, barulah perselisihan dicatatkan ke Dinas Tenaga Kerja. Bila kabupaten atau kota tersebut tidak memiliki pejabat mediator hubungan industrial, maka akan dilimpahkan ke Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan dan Strategi SDK-JSM dalam Meningkatkan IPM dan Infrastruktur Sulawesi Barat

  Dr. H. Suhardi Duka, M.M. bersama Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) untuk periode 2025-2030. Pelantikan tersebut dilaksanakan pada Kamis, 20 Februari 2025, di Istana Negara, Jakarta. /Foto/Istimewa /Pikiran Rakyat Sulbar Fenomena ketimpangan pembangunan di Sulawesi Barat menjadi tantangan besar bagi Gubernur Suhardi Duka (SDK) dan Jenderal Salim D. Mengga (JSM). Dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang masih di bawah rata-rata nasional dan disparitas infrastruktur antarwilayah yang signifikan, dibutuhkan kebijakan yang strategis dan inovatif untuk menjawab berbagai tantangan yang ada. Tantangan Pembangunan Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Sulawesi Barat berada pada angka 70, masih jauh dari rata-rata nasional yang mencapai 74,39. Faktor utama penyebabnya adalah kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang belum optimal. Kurangn...

Tahapan Agenda Setting dalam Pembentukan Kebijakan oleh Wahyudi Iswar

  Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, saya Wahyudi Iswar, Analis Kebijakan Ahli Muda di Diskominfo Provinsi Sulawesi Barat. Anda saat ini berada di program BUKA RUANG . Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang tahapan agenda setting dalam proses pembentukan kebijakan publik. Dalam studi kebijakan publik, secara umum proses agenda setting merupakan tahapan yang melibatkan transformasi dari isu atau masalah privat menjadi isu publik, yang kemudian diangkat menjadi agenda pemerintahan. Proses ini adalah bagian penting dalam ruang lingkup agenda setting . Mengacu pada pengukuran Indeks Kualitas Kebijakan Publik yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN), kualitas agenda setting menjadi salah satu subdimensi dalam indeks tersebut. Indeks Kebijakan Publik sendiri memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi perencanaan kebijakan dan dimensi evaluasi serta kemanfaatan kebijakan. Agenda setting termasuk dalam dimensi perencanaan kebijakan, bersama dengan s...

Menuntaskan Tenaga Kontrak Pemerintah 2025: Keputusan MenPAN-RB Nomor 16/2025 tentang PPPK Paruh Waktu Sebagai Solusi Transformasi Kepegawaian

Penghapusan tenaga honorer oleh pemerintah pada tahun 2025 menandai era baru dalam pengelolaan sumber daya manusia di sektor publik. Kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem kepegawaian yang lebih efisien, terstruktur, dan profesional. Selama ini, sistem rekrutmen tenaga honorer dinilai tidak pasti dan kurang jelas, menyebabkan banyak tenaga kerja non-ASN menerima upah di bawah standar regional (UMR) serta menimbulkan beban anggaran yang tidak efisien. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KepmenPANRB) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Regulasi ini menjadi landasan hukum bagi pengangkatan tenaga non-ASN sebagai PPPK paruh waktu, memberikan harapan baru bagi mereka yang selama ini bekerja tanpa status dan jaminan yang jelas. Latar Belakang dan Urgensi Penerbitan KepmenPANRB 16/2025 KepmenPANRB 16/2025 lahir sebagai respons terh...