Momen Lebaran seharusnya menjadi waktu di mana uang berputar deras, pasar ramai, dan masyarakat bersuka cita setelah sebulan berpuasa. Namun, tahun ini, suasana Lebaran terasa berbeda. Jumlah pemudik anjlok signifikan—hanya 146,48 juta orang, turun 24% dari tahun sebelumnya. Penurunan ini bukan sekadar perubahan tren, melainkan sinyal bahaya bahwa daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, sedang merosot tajam. Data dari Kementerian Perhubungan menunjukkan penurunan penumpang di hampir semua moda transportasi—bus AKAP turun 10%, pesawat 6,8%, dan kapal laut 4,8%. Ini bukan kebetulan. Ini adalah gejala dari sebuah masalah yang lebih besar: ekonomi Indonesia sedang sakit.
Deflasi dan Dilema Daya Beli
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa Indonesia telah mengalami deflasi sejak Mei 2024 hingga September 2024, dan tren ini berlanjut hingga jelang Ramadan. Deflasi sering dianggap sebagai hal positif karena harga barang turun, tetapi dalam konteks Indonesia saat ini, itu justru menunjukkan melemahnya permintaan. Masyarakat tidak lagi berani membelanjakan uangnya, bukan karena harga murah, melainkan karena uangnya tidak ada.
Lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyoroti bahwa penurunan jumlah pemudik dan peredaran uang saat Lebaran adalah indikator nyata pelemahan ekonomi. Perputaran uang tahun ini hanya Rp137,97 triliun, turun Rp20 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, di tengah data yang begitu jelas, pemerintah justru bersikap seolah-olah tidak ada masalah. Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian dengan tegas membantah terjadinya pelemahan daya beli. Pertanyaannya: apakah mereka hidup di dunia yang sama dengan rakyatnya?
PHK dan Ancaman Krisis Sosial
Gelombang PHK yang melanda sejak 2024 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, dan efek domino dari PHK ini sudah mulai terasa. Warung-warung kecil yang biasanya hidup dari perputaran uang pekerja harian kini sepi. Perekonomian mikro—yang menjadi tulang punggung kesejahteraan masyarakat bawah—mulai runtuh.
Sosiolog UGM, Ari Sujito, mengingatkan bahwa krisis ekonomi seperti ini bisa dengan cepat berubah menjadi krisis sosial. Ketika orang-orang tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan dasar, mereka akan mencari kambing hitam. Isu identitas—agama, suku, atau kelompok tertentu—bisa dengan mudah dipolitisasi untuk menutupi akar masalah sebenarnya: ketimpangan ekonomi. Sejarah telah membuktikan bahwa krisis ekonomi sering diikuti oleh kerusuhan sosial. Indonesia 1998 adalah contoh nyata.
Kebijakan yang Terlalu Teknokratis, Terlalu Jauh dari Realita
Salah satu masalah terbesar saat ini adalah kebijakan ekonomi yang dibuat berdasarkan laporan statistik, bukan realita di lapangan. Pemerintah terlihat lebih sibuk memoles angka makroekonomi daripada mendengar jeritan pedagang kecil, buruh yang di-PHK, atau keluarga yang terpaksa tidak mudik karena tidak punya uang.
Ari Sujito dengan tegas mengkritik pendekatan teknokratis ini:
"Proses pembuatan kebijakan hanya berdasarkan laporan, tidak berdasarkan realita di lapangan. Teknokrasi versi pemerintah harus dikoreksi karena potret realitas di akar rumput berbeda sama sekali."
Inilah bahayanya ketika kebijakan ekonomi hanya dirancang oleh segelintir elite di Jakarta, tanpa memahami bagaimana rakyat kecil bertahan hidup.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus mengakui bahwa ada masalah. Menutupi krisis dengan narasi "ekonomi masih stabil" hanya akan memperburuk keadaan. Pengakuan jujur adalah langkah pertama untuk mencari solusi.
Kedua, perlu stimulus langsung ke sektor riil. Bantuan sosial (bansos) saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan bahwa uang beredar di tingkat bawah—melalui program padat karya, dukungan UMKM, dan insentif bagi industri kecil.
Ketiga, antisipasi gejolak sosial. Penegakan hukum harus diperkuat untuk mencegah konflik horizontal. Dialog dengan masyarakat sipil, ormas, dan tokoh agama harus digencarkan untuk mencegah isu identitas dipolitisasi.
Keempat, reformasi kebijakan berbasis data riil. Pemerintah perlu mendengar langsung keluhan pelaku usaha kecil, buruh, dan masyarakat marjinal sebelum merancang kebijakan.
Kesimpulan: Jangan Tunggu Sampai Terlambat
Krisis ekonomi tidak datang tiba-tiba. Ia memberi sinyal-sinyal—seperti turunnya jumlah pemudik, deflasi berkepanjangan, dan gelombang PHK. Sayangnya, sinyal-sinyal ini sering diabaikan hingga segalanya menjadi terlalu terlambat.
Pemerintah tidak bisa terus bersembunyi di balik angka-angka makro yang terlihat indah di atas kertas. Rakyat merasakan krisis ini setiap hari—di meja makan yang semakin sederhana, di rencana mudik yang harus dibatalkan, di ketakutan kehilangan pekerjaan.
Jika tidak ada langkah nyata segera, krisis ekonomi ini tidak hanya akan meruntuhkan daya beli, tetapi juga merusak kohesi sosial bangsa. Dan sekali kerusuhan sosial terjadi, tidak ada kebijakan ekonomi yang bisa memperbaikinya dalam waktu singkat.
Waktunya bertindak adalah sekarang—sebelum api kecil ini menjadi kebakaran besar.
Komentar
Posting Komentar