Pernyataan Sandiaga Uno dalam podcast Cuap-Cuap Cuan memberikan gambaran menarik tentang arah kebijakan ekonomi di era pemerintahan baru. "Pak Prabowo itu firm, orangnya decisive strong. Dia percaya dengan strong government dan kebijakannya akan mengarah ke sana," ujarnya. Narasi "strong government" ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah pendekatan yang ingin menciptakan kepastian di tengah turbulensi ekonomi global. Namun, pertanyaannya adalah: apakah konsep strong government ala Prabowo benar-benar bisa menjadi solusi bagi masalah ekonomi Indonesia yang semakin kompleks?
Strong Government vs. Market Friendly Policy
Salah satu poin kunci yang diangkat Sandiaga adalah tentang pentingnya komunikasi kebijakan. "Ini tugasnya para jubir sekarang untuk menyampaikan bahwa kebijakan Pak Prabowo akan lebih pro-market atau market friendly," tegasnya. Ini adalah sinyal penting, terutama bagi pelaku pasar yang selama ini khawatir dengan kebijakan populis yang bisa mengganggu iklim investasi.
Namun, di sisi lain, konsep strong government sering dikaitkan dengan sentralisasi kekuasaan dan intervensi negara yang besar. Sandiaga sendiri membandingkannya dengan pemimpin seperti Modi di India atau Victor Orban di Hungaria—figur yang dikenal dengan pendekatan otoriter dalam ekonomi. "Ini memang masanya strong leaders. Di Asia ada Modi, di Eropa ada Orban, dan sekarang Indonesia punya Prabowo," katanya. Pertanyaannya: bisikan pasar lebih membutuhkan kepastian hukum dan deregulasi, bukan sekadar kekuatan politik di tingkat elite?
Tiga Pilar Ekonomi: Infrastruktur, Human Capital, dan Institusi
Sandiaga menjelaskan tiga pilar utama kebijakan ekonomi Prabowo:
Investasi infrastruktur – "Kita tetap invest di infrastruktur, tapi bukan government-led melainkan government-facilitated."
Investasi human capital – Termasuk program Magang Bersertifikat (MBG) yang disebutnya "bukan proyek, tapi investasi di masa depan bangsa."
Strengthening institutions – "Pemerintah harus kuat, tapi dikelola bersama-sama."
Ketiga pilar ini terdengar ideal, tapi realisasinya tidak semudah itu. Masalah terbesar adalah inkonsistensi kebijakan. Contoh nyata adalah kasus ormas yang meminta THR dari perusahaan—praktik yang menurut Sandiaga "tidak acceptable" tapi masih terjadi. "Ini bikin BT pengusaha. Kalau di Vietnam atau China, langsung di-eksekusi. Tapi di sini malah dibiarkan," keluhnya. Ini adalah bukti bahwa strong government tidak akan berarti apa-apa jika tidak diikuti dengan penegakan hukum yang tegas.
Pasar Modal: Antara Peluang dan Volatilitas Tinggi
Sandiaga, sebagai seorang investor, memberikan pandangan menarik tentang peluang di pasar modal. "Sekarang saatnya berinvestasi. Banyak perusahaan bagus yang undervalue," ujarnya, mengutip Warren Buffett: "Be fearful when others are greedy, and greedy when others are fearful."
Tapi dia juga mengakui tantangan besar di BEI: "Pasar kita sangat shallow dan narrow. Hanya sedikit emiten yang benar-benar likuid." Fluktuasi ekstrem seperti "perfect storm" beberapa waktu lalu—di mana indeks sempat anjlok 7% dalam sehari—menunjukkan betapa rapuhnya pasar Indonesia terhadap sentimen negatif.
Solusinya? Perlu pendalaman pasar dan perluasan instrumen investasi. Tapi ini adalah pekerjaan rumah jangka panjang. Untuk saat ini, Sandiaga menyarankan investor fokus pada saham-saham dividend paying dan non-cyclical seperti consumer staples. "Kita tetap butuh HP, tetap makan di luar. Cari perusahaan dengan karakteristik ini," sarannya.
Danantara: Mimpi Besar atau Proyek Gagal?
Pembahasan tentang Danantara (badan investasi strategis ala Temasek) juga menarik. Sandiaga membandingkannya dengan Singapore’s Temasek yang sukses karena tata kelola kuat. "Kuncinya governance. Pastikan tata kelolanya baik dulu," tegasnya.
Tapi sejarah menunjukkan bahwa model seperti ini bisa sukses (Temasek) atau gagal total (1MDB Malaysia). Tantangan terbesar Danantara adalah:
Intervensi politik – Akankah benar-benar independen?
Kualitas aset – Apakah akan fokus membenahi BUMN yang ada dulu, atau langsung terjun ke proyek baru?
Transparansi – Bisakah menghindari praktik korupsi seperti yang terjadi di banyak proyek strategis?
Sandiaga optimis, tapi dia mengingatkan: "6 bulan pertama ini krusial. Tata kelola harus dibenahi dulu."
Komunikasi Kebijakan: Kunci Menghindari Krisis Kepercayaan
Poin terpenting dari seluruh diskusi ini adalah pentingnya komunikasi yang jelas dari pemerintah. "Para jubir harus bisa menjelaskan dengan bahasa yang lugas, seperti di Cuap-Cuap Cuan ini," canda Sandiaga.
Contoh buruk adalah kebingungan pasar saat ada wacana pemotongan anggaran infrastruktur. "Harus dijelaskan bahwa pemotongan anggaran bukan berarti pembangunan berhenti, tapi beralih ke skema swasta yang difasilitasi pemerintah," tegasnya.
Kesimpulan: Strong Government Hanya Awal, Eksekusi yang Menentukan
Pemerintahan Prabowo memang membawa narasi kuat tentang strong government dan kepastian kebijakan. Tapi, seperti diingatkan Sandiaga Uno: "Strong government tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah eksekusi konsisten, komunikasi transparan, dan penegakan hukum."
Jika tiga hal ini tidak dilakukan, strong government hanya akan menjadi jargon kosong—dan ekonomi Indonesia akan tetap terjebak dalam ketidakpastian. Optimisme ada, tapi tanpa aksi nyata, harapan hanyalah ilusi.
"Kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045, tapi old way of doing business harus ditinggalkan," pungkas Sandiaga. Dan itu adalah tugas berat bagi siapa pun yang memimpin Indonesia hari ini.
Komentar
Posting Komentar