Narasumber (Kang Yayat):
"Saya punya data bahwa
banyak orang yang sebelumnya tinggal di pusat Jakarta kini memilih
pindah ke pinggiran atau kota satelit. Lihat data BPS: populasi Jakarta
Pusat semakin menurun setiap tahun. Pertanyaannya, siapa yang berpindah?
Kelas menengah.
Contohnya, kawasan elit seperti Menteng tidak lagi seperti dulu. Perumahan-perumahan premium mulai sepi, bahkan mal-mal di pusat kota banyak yang tutup karena tingginya biaya pajak. Ini menunjukkan bahwa kelas menengah merasa lingkungan Jakarta tidak lagi sesuai ekspektasi mereka.
Fenomena serupa terjadi di Jakarta Barat, mirip dengan kondisi pasca-kerusuhan 1998 ketika banyak orang pindah karena faktor keamanan. Sekarang, alasan migrasi lebih terkait kualitas hidup.
Saya pernah diminta seorang pengembang properti menganalisis penjualan rumah senilai Rp5 miliar per unit—laku keras! Siapa pembelinya? Kelas menengah atas Jakarta yang menginginkan standar hidup lebih tinggi di wilayah pinggiran.
Pertanyaan Kritis:
Jika
kelas menengah terus pindah ke pinggiran, bagaimana dengan potensi
pasar di Jakarta? Selama ini kita fokus pada 10.000–15.000 pendatang
baru yang belum tentu terserap pasar tenaga kerja, sementara ‘mata air’
ekonomi (kelas menengah) justru mengering dari Jakarta.
Fenomena Kota Satelit:
Kota-kota
baru ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan fasis
pendidikan dan kesehatan, seperti di Tangerang Selatan (Tangsel).
Perumahan premium di pinggiran semakin diminati.
Pertanyaan Lanjutan:
Haruskah kelas menengah ditarik kembali ke Jakarta?
Bagaimana caranya, sementara mereka kini bisa work from anywhere, dengan fasilitas mal, perkantoran, dan pendidikan di pinggiran yang semakin baik?
Jika Jakarta ramai di pusat tapi kelas menengahnya pindah, apa yang bisa ditawarkan untuk menarik mereka kembali?
Isu Identitas dan Administrasi:
Banyak
yang pindah ke pinggiran tetapi tetap mempertahankan KTP Jakarta karena
lebih menguntungkan (misalnya untuk pajak atau izin usaha). Ini menjadi
buah simalakama: di satu sisi menguntungkan PAD Jakarta, di sisi lain menimbulkan ketidakjelasan data kependudukan.
Pembiayaan Sosial Jakarta:
Pemprov
DKI mengalokasikan Rp17 triliun dari APBD (sekitar 25% total anggaran)
untuk bantuan sosial seperti Jakarta Pintar. Pertanyaannya: seberapa
efektif program ini mengubah kondisi sosial? Apakah visi pemimpin saat
ini lebih fokus pada bantuan sosial ketimbang perbaikan struktural?
Tanggapan Pemprov DKI:
Kelas menengah yang pindah ke pinggiran tetap bekerja di Jakarta, sehingga kontribusi pajak masih mengalir.
TOD (Transit-Oriented Development) dan pembangunan rusun dekat stasiun akan terus digenjot.
Jakarta akan bertransformasi menjadi kota jasa, dengan lapangan kerja di sektor ini semakin terbuka.
Program job fair tiap 3 bulan di tingkat kecamatan sudah dimulai, bekerja sama dengan BUMN/BUMD dan swasta.
Kritik terhadap Kebijakan Tenaga Kerja:
Persyaratan kerja di Pemprov perlu disesuaikan (misalnya, untuk pekerjaan seperti petugas kebersihan, cukup bisa baca-tulis, tidak harus lulus SMA).
Perlunya sinergi dengan swasta untuk penyerapan lulusan pelatihan kerja.
Data Pendatang Baru:
Pemprov sedang menyusun dashboard pendataan pendatang dengan 11 indikator, meliputi:
Jenis kelamin
Pendidikan (di atas/bawah SLTA)
Perkiraan penghasilan berdasarkan pekerjaan
Rasio gender
Tujuan kedatangan per RW
Kategori usia (anak, produktif, lansia)
Piramida penduduk
Kabupaten asal
Pendidikan pendatang
10 besar pekerjaan pendatang
Tantangan:
Pendataan tidak bisa 100% akurat karena masih ada praktik "titip KK".
Prioritas penanganan PHK vs. pendatang baru perlu kejelasan.
Kesimpulan:
Jakarta
menghadapi dilema: mempertahankan kelas menengah yang bermigrasi atau
fokus pada pendatang baru. Solusinya tidak hanya terletak pada kebijakan
administrasi (seperti pembatasan KTP), tetapi juga pada peningkatan
kualitas hidup, penciptaan lapangan kerja berbasis jasa, dan kolaborasi
dengan wilayah penyangga.
Komentar
Posting Komentar