Masa libur Lebaran tahun ini seharusnya menjadi momen sukacita setelah sebulan penuh berpuasa, tetapi realitasnya justru meninggalkan rasa pahit di mulut. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum reda, daya beli masyarakat yang terus merosot, dan terpaan kebijakan tarif impor Amerika Serikat sebesar 32% telah menciptakan badai ekonomi yang sulit dihindari. Rupiah pun terjun bebas, menembus level psikologis Rp17.000 per dolar AS—rekor terendah sepanjang sejarah. Di tengah situasi seperti ini, pertanyaannya bukan lagi apakah pemerintah harus bertindak, melainkan bagaimana kebijakan yang diambil tidak justru menjadi blunder yang memperburuk keadaan.
Krisis Multidimensi: Domestik dan Global
Di dalam negeri, ekonomi Indonesia sedang tidak "baik-baik saja," meski beberapa pejabat mungkin enggan mengakuinya. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa pada 2024 saja, sekitar 77.000 pekerja kehilangan mata pencaharian, dan angka itu terus bertambah pada awal 2025. PHK massal ini bukan hanya soal angka statistik, melainkan juga tentang keluarga-keluarga yang tiba-tiba kehilangan sumber penghasilan, anak-anak yang terancam putus sekolah, dan gelombang keputusasaan yang merambat ke seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu, di panggung global, kebijakan proteksionis Presiden Donald Trump telah mengubah peta perdagangan internasional. Indonesia, bersama puluhan negara lainnya, dikenai tarif impor tinggi sebagai bentuk "balas dendam" atas kebijakan serupa yang dinilai merugikan AS. Masalahnya, produk-produk Indonesia yang masuk ke AS didominasi oleh sektor padat karya seperti tekstil dan perikanan—industri yang justru menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja. Jika ekspor terhambat, PHK akan semakin masif, dan daya beli masyarakat—yang sudah lemah—bisa ambruk total.
Respon Pemerintah: Lambat atau Cermat?
Vietnam dan India telah bergerak cepat. Vietnam bahkan menawarkan untuk meniadakan tarif impor produk AS sebagai bentuk negosiasi—langkah yang langsung direspons positif oleh Trump. Pertanyaannya: di mana posisi Indonesia?
Pemerintah memang telah memutuskan untuk menempuh jalur negosiasi, tetapi langkah-langkah konkretnya masih terasa parsial. Tidak ada pernyataan resmi yang tegas dari pucuk pimpinan, tidak ada koordinasi terpadu antar-kementerian, dan yang paling mengkhawatirkan—kursi Duta Besar RI untuk AS masih kosong. Bagaimana mungkin negosiasi dilakukan tanpa representasi yang kuat di Washington?
Selain itu, ada kegelisahan publik bahwa pemerintah terlalu sering mengeluarkan pernyataan yang justru kontraproduktif—entah itu candaan di saat krisis atau klaim bahwa "daya beli masyarakat tetap kuat" padahal data menunjukkan sebaliknya. Di tengah situasi genting seperti ini, setiap kata yang keluar dari mulut pejabat bisa menjadi bumerang.
Jalan Keluar: Dari Negosiasi hingga Pemberdayaan Pasar Domestik
Pertama, negosiasi harus dilakukan dengan strategi yang jelas. Indonesia memiliki daya tawar, salah satunya melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melibatkan investasi AS. Pemerintah perlu memetakan sektor-sektor yang bisa ditawarkan sebagai "kompensasi" agar tarif impor produk Indonesia tidak terlalu memberatkan.
Kedua, pemerintah harus membuka ruang dialog lebih intens dengan pelaku usaha. Pengusaha tekstil, perikanan, dan sektor terdampak lainnya tahu persis di mana titik masalahnya. Mereka juga memiliki jaringan pasar alternatif—entah di BRICS atau ASEAN—yang bisa dieksplorasi jika AS benar-benar menutup keran impor.
Ketiga, perlu upaya serius untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Selama ini, Indonesia terlalu bergantung pada ekspor ke negara-negara Barat, sementara potensi pasar di Afrika, Timur Tengah, atau bahkan regional Asia Tenggara belum digarap maksimal.
Keempat, stop kebijakan yang justru membebani industri dalam negeri. Birokrasi yang berbelit, pungutan liar, dan intervensi ormas harus ditertibkan. Pengusaha sudah cukup terbebani dengan PHK dan tarif impor; jangan tambah dengan regulasi yang tidak perlu.
Komunikasi: Kunci Membangun Kepercayaan
Yang terpenting, pemerintah harus transparan dan cepat dalam merespons krisis. Masyarakat butuh kepastian, bukan janji-janji yang tidak jelas. Setiap langkah kebijakan harus disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan misinterpretasi yang justru memicu kepanikan pasar.
Di saat yang sama, elit politik harus berhenti bersikap seolah-olah krisis ini hanya sementara. PHK, pelemahan rupiah, dan ancaman resesi adalah nyata. Rakyat sudah menjerit, dan jeritan itu harus didengar—bukan diabaikan dengan dalih "semua akan baik-baik saja."
Penutup: Menghindari Blunder, Menciptakan Peluang
Krisis ini adalah ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo. Di satu sisi, tekanan global tidak bisa dihindari. Di sisi lain, kebijakan domestik yang ceroboh bisa memperburuk keadaan. Indonesia tidak butuh kepanikan, tetapi juga tidak bisa diam menunggu badai berlalu.
Negosiasi dengan AS harus segera dilakukan, pasar alternatif harus dibuka, dan yang terpenting—kepercayaan antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus dipulihkan. Jika tidak, kita bukan hanya akan kehilangan momentum pemulihan pasca-Lebaran, tetapi juga membiarkan ekonomi Indonesia terperosok lebih dalam—dengan konsekuensi yang mungkin butuh tahunan untuk diperbaiki.
Kebijakan anti-blunder bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Dan waktunya untuk bertindak adalah sekarang—sebelum kerusakan menjadi terlalu parah untuk ditambal.
Komentar
Posting Komentar